Kompas.sbs | Kabupaten Tangerang, — Praktik penarikan kendaraan bermotor kembali menuai sorotan. Seorang debitur kendaraan roda empat mengaku mobilnya ditarik oleh sekelompok debt collector dengan dalih adanya “aturan baru” yang membolehkan penarikan kendaraan tanpa putusan pengadilan. Kasus ini terjadi di Kp.Lemo, Kabupaten Tangerang, pada Rabu (24/12/2025).
Padahal, hingga kini tidak ada regulasi resmi yang mengatur hal tersebut.
Peristiwa itu dialami RA, yang mengaku didatangi sekitar 10 orang debt collector secara bersamaan.
Kehadiran mereka disebut menimbulkan tekanan psikologis dan rasa takut, hingga akhirnya debitur menandatangani surat penyerahan kendaraan.
“Saya menolak karena tidak ada putusan pengadilan. Tapi mereka bilang sekarang sudah ada aturan baru dari MK, kendaraan bisa langsung ditarik. Jumlah mereka banyak, saya tertekan dan takut,” ujar debitur kepada wartawan, Kamus (25/12/2025).
Sempat Digadaikan, Sudah Ditebus Kembali
Debitur mengakui sebelumnya sempat menggadaikan kendaraan tersebut akibat kesulitan ekonomi. Namun, sebelum penarikan terjadi, kendaraan itu telah ditebus kembali dan berada dalam penguasaannya.
Meski demikian, debitur memang mengalami keterlambatan pembayaran cicilan selama empat bulan. Namun menurutnya, kondisi tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk melakukan penarikan secara paksa, apalagi tanpa putusan pengadilan.
Dalih “Aturan Baru” Dipertanyakan
Hingga berita ini diturunkan, tidak ditemukan adanya Peraturan OJK, Putusan Mahkamah Agung, maupun Putusan Mahkamah Konstitusi terbaru yang menyatakan bahwa penarikan kendaraan bermotor dapat dilakukan tanpa putusan pengadilan jika debitur menolak.
Sebaliknya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 justru menegaskan bahwa eksekusi jaminan fidusia hanya dapat dilakukan tanpa pengadilan apabila debitur menyerahkan kendaraan secara sukarela. Jika terdapat penolakan, maka kreditur wajib menempuh mekanisme hukum melalui pengadilan.
Dugaan Intimidasi dan Cacat Kehendak
Dr Bernard (Ketua DPP Gakorpan) menilai, penarikan kendaraan yang dilakukan secara bergerombol dan disertai tekanan psikis dapat dikategorikan sebagai intimidasi.
“Persetujuan atau tanda tangan yang diperoleh karena tekanan atau kebohongan hukum adalah cacat kehendak dan tidak sah. Itu tidak bisa dianggap sebagai penyerahan sukarela,” ujar Dr. Bernard.
Secara hukum, tindakan tersebut berpotensi melanggar ketentuan pidana, antara lain:
•Pasal 368 KUHP tentang pemerasan,
•Pasal 378 KUHP tentang penipuan,
•Pasal 335 KUHP tentang pemaksaan.
Catatan Redaksi
Kasus ini kembali membuka perdebatan soal praktik penagihan oleh debt collector di lapangan. Di satu sisi, kreditur memiliki hak menagih kewajiban debitur. Namun di sisi lain, prosedur hukum dan perlindungan terhadap hak warga negara tetap harus dijunjung tinggi.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak perusahaan pembiayaan terkait belum diminta klarifikasi.
(tim/Red)

